Rabu, 30 Maret 2011

Merayakan 'Gambar Idoep' Produksi Lokal

Tempo/Panca Syurkani
Tempo/Panca Syurkani
Hari ini, enam puluh satu tahun silam, film Darah dan Doa memulai syuting pertamanya. Garapan sutradara Usmar Ismail itu dianggap film produksi lokal yang pertama: dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia. Maka, 30 Maret pun ditahbiskan sebagai Hari Film Nasional.

Yang menarik, Pemerintah baru menetapkan tanggal itu sebagai Hari Film Nasional pada 1999-- empat puluh sembilan tahun sesudah kejadian. Tepatnya melalui Surat Keputusan Presiden No 25 di masa BJ Habibie, setelah diusulkan oleh para tokoh perfilman.

Sejatinya, Konferensi Kerja Dewan Film Nasional pada 11 Oktober 1962 telah mengusulkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Namun, ada penentangan dari golongan kiri yang menganggap karya-karya Usmar Ismail tidak nasionalis atau kontra revolusioner. Dengan meletusnya peristiwa 30 September, wacana Hari Film Nasional pun menguap. Baru dihidupkan kembali pada 1999.

Darah dan Doa dianggap bersejarah karena “asli” Indonesia. Sebelumnya, pada 1949, Usmar Ismail telah menyutradarai dua film Harta Karun dan Tjitra. Karena diproduksi oleh perusahaan Belanda: South Pacific Film, maka kedua judul itu tak dianggap film Indonesia. Usmar lalu hengkang dari Perusahaan film itu dan mendirikan versi lokal: Perusahaan Film Indonesia (PERFINI).

Perusahaan inilah yang kemudian melahirkan Darah dan Doa-- yang semula berjudul: The Long March of Siliwangi. Film yang naskahnya ditulis Sitor Situmorang ini berkisah tentang perjalanan serombongan tentara dan pengungsi. Ada kisah cinta antara seorang prajurit dan wanita Indo-Belanda-- wanita dari kalangan musuh.

Warga kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya di masa itu memang telah mengenal pemutaran film atau gambar idoep. Penduduk Batavia pertamakali melihat gambar hidup ini pada 5 Desember 1900 di Tanah Abang, Kebonjae. Yang diputar perdana adalah film dokumenter dari Eropa dan Afrika Selatan. Bioskop yang terkenal saat itu, antara lain, Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Di masa itu, bioskop dipisahkan berdasarkan ras: Eropa, Tionghoa dan pribumi. Yang terakhir kerap disebut “kelas kambing”-- konon karena penontonnya berisik seperti kambing.

Jauh sebelum era Usmar, sejumlah judul karya sutradara dalam negeri telah bertebaran. Disusuri sejarahnya, film cerita yang pertama dibuat di sini adalah Loetoeng Kasaroeng. Film bisu hitam putih ini dirilis oleh NV Java Film Company pada 1926. Berkisah tentang legenda tanah air dan dibintangi pemain lokal, film ini disutradarai duo asal Belanda: G. Kruger dan L. Heuveldorf. Film yang dibintangi anak-anak Bupati Bandung, Wiranata Kusuma II, ini diputar di dua bioskop di kota itu: Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic). Selanjutnya, film kedua dibuat Kruger (kali ini di bawah perusahaan Krugers Film Bedrif) berjudul Euis Atjih.

Pada 1928, datanglah Wong Bersaudara dari Shanghai. Awalnya, Nelson Wong datang dan menyutradarai Lily Van Java. Lalu kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong ikut ke Indonesia. Mereka bertiga mendirikan Halimoen Film.

Setahun kemudian, Indonesia memasuki era baru perfilman dengan masuknya sinema bersuara. Film bersuara pertama yang diputar di sini adalah Fox Follies dan Rainbouw Man. Karena keterbatasan teknis, hanya secuil bioskop yang mampu menyetel film jenis ini. Film bicara Indonesia pun mulai diproduksi, yaitu Bunga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun) dan Indonesia Malaise (Halimoen Film). Kedua film ini tak terlalu meledak.

Lalu datanglah Albert Balink, wartawan Belanda yang bersama Wong Bersaudara membuat film Terang Boelan dan Pareh pada 1934. Balink kemudian mendirikan perusahaan film ANIF -- gedungnya kini menjadi kantor Perusahaan Film Negara (PFN) di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta. Meski pun ia cuma menghasilkan 2 buah film, tetapi namanya menjadi terkenal di kalangan dunia film Indonesia sebelum perang. Terang Boelan yang dibintangi Miss Roekiah dan Rd Mochtar menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat disambut hangat oleh penonton. Sesudahnya, banyak film lokal yang beredar.

Namun, lantaran proses produksinya melibatkan sutradara atau perusahaan asing, semua judul itu tak dianggap sebagai film asli Indonesia. Barulah Darah dan Doa yang mendapat label seratus persen produksi lokal.

Andari Karina Anom, wartawan Tempo. Ia kerap mengikuti dan menulis seputar isu seni dan budaya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More