Kamis, 13 Januari 2011

Social News & Life

Usai Mencium, Gadis Remaja Tewas Seketika

Liputan6.com, London: Seorang gadis asal Inggris tewas seketika usai mencium sang kekasih untuk pertama kalinya. Diduga gadis bernama Jemma Benjamin itu tewas akibat penyakit jantung langka yang dideritanya.
Sepeti dilansir situs metro.co.uk, Kamis (10/2), dokter yang menyelidiki kasus kematian Jemma itu mengatakan bahwa gadis berumur 18 tahun itu terserang Sindrom Kematian Mendadak Dewasa (SADS). Walaupun terdengar asing, namun sindrom tersebut dapat merenggut 500 nyawa setiap tahunnya di Inggris. Sampai saat ini pun belum ada ahli kesehatan yang dapat menjelaskan penyebab dari sindrom mematikan ini.
Kekasih Jemma, Daniel mengaku terkejut dengan kejadian tersebut. Daniel mengatakan Jemma tiba-tiba terkulai dan kejang-kejang setelah dia mencium dirinya.
"Aku menelepon ibunya untuk menanyakan apakah dia memiliki penyakit epilepsi. Ibunya menjawab tidak. Aku panik dan langsung menghubungi rumah sakit terdekat," kata Daniel.
Sayangnya saat ambulans tiba, Jemma telah mengembuskan nafas terakhirnya. (Vin)

 

Tak Mampu "Ngeseks", Suami Lapor Polisi
Tak Mampu "Ngeseks", Suami Lapor Polisi
BERLIN, KOMPAS.com — Seorang warga Jerman pergi ke kantor polisi untuk minta perlindungan dari istrinya. Bukan karena kasus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi karena pria keturunan Turki tersebut sudah tak sanggup lagi melayani tuntutan seks istrinya.
Kepada polisi, sang suami bercerita, ia sudah empat tahun terakhir ini terpaksa tidur di sofa untuk menghindari istrinya, yang ia nikahi 18 tahun silam dan sudah memberi dua anak. ”Ia memutuskan untuk menceraikan istrinya dan pindah rumah agar bisa beristirahat. Ia sudah tak sabar bisa datang ke kantor dalam keadaan segar,” tutur polisi di sebuah kota di Jerman barat daya, Rabu (26/1/2011).
Pria tersebut mengaku saat ini tak bisa beristirahat dengan tenang karena, meski ia sudah tidur di sofa ruang tamu, istrinya selalu menyusul dan menuntut dia melakukan ”tugas suami”. ”Ia minta bantuan polisi agar bisa tidur nyenyak pada malam hari,” ungkap polisi tersebut.

Jenderal Tergiur Uang dan Seks



Jenderal Tergiur Uang dan Seks
TAIPEI, KOMPAS.com — Mayjen Lo Hsien Che (51) ditangkap karena terkait skandal spionase terburuk di Taiwan dalam 50 tahun terakhir. Media massa di Taiwan, Kamis (10/2/2011), memberitakan Mayjen Lo terjerat sebagai mata-mata untuk kepentingan China karena tergoda uang dan seks.
Godaan itu datang dari perempuan agen mata-mata China. Mayjen Lo direkrut saat ditugaskan di Thailand periode 2002-2005. Dia dijebak dengan uang dan seks dengan imbalan harus memberikan informasi penting soal Taiwan.
Media massa Taiwan menggambarkan perempuan itu sebagai cantik, langsing, tinggi, dan berpaspor Australia. Perempuan itu menyamar sebagai pekerja di bidang ekspor-impor saat bertemu pertama kali dengan Mayjen Lo, yang sudah beristri.
Mayjen Lo kemudian menyerahkan informasi soal Taiwan sejak 2004 dengan imbalan 200.000 dollar AS (sekitar Rp 1,8 miliar). Sejumlah media di Taiwan menyebutkan Mayjen Lo bahkan sudah mengantongi uang sekitar 1 juta dollar AS (sekitar Rp 9 miliar).
Pada tahun 2005 Mayjen Lo dirotasi kembali ke Taiwan, tetapi tetap bekerja sebagai pemberi informasi kepada China. Dia bahkan tetap menemui perempuan mata-mata itu di Amerika Serikat (AS). Di AS, Mayjen Lo juga menyerahkan informasi rahasia soal Taiwan.
Naik pangkat
Mayjen Lo berhasil mengelabui Pemerintah Taiwan atas kegiatannya itu dan terus berhasil meraup uang. Pada tahun 2008, Lo bahkan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi mayjen. Saat direkrut, Lo belum memiliki pangkat itu.
Dia ditangkap bulan lalu saat menjabat sebagai Kepala Bagian Telekomunikasi dan Informasi Elektronik di Departemen Pertahanan Taiwan, yang enggan berkomentar soal kasus itu.
Para pejabat militer Taiwan mengingatkan posisi Mayjen Lo memungkinkan dia memberikan informasi penting tentang Taiwan kepada China.
Tabloid China, Global Times, mengutip Li Fei, seorang pakar soal Taiwan di Universitas Xiamen, China. ”Kegiatan mata-mata di antara kedua negara tak pernah surut, bahkan berlanjut saat ketegangan kedua negara mereda. Targetnya tidak hanya sektor militer, tetapi juga merambah ke urusan ekonomi dan teknologi,” kata Li Fei.
China selalu menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya. (AFP/MON)

 

Nujood Ali, Pengantin Berusia 10 Tahun
 
KOMPAS.com — Menlu AS Hillary Clinton menyebut perempuan Yaman berusia 10 tahun, Nujood Ali, sebagai pahlawannya. Dia mengatakan itu di Sana’a, Yaman, Selasa (11/1/2011), saat berkunjung ke Yaman.
Siapa Nujood Ali? Dia adalah gadis belia yang dua tahun lalu dipaksa menikah dengan pria tua, hal yang biasa terjadi di Yaman. Dia dipaksa orangtuanya menikah dan terpaksa tidak bersekolah lagi.
"Saya ingin menegaskan bahwa salah satu pahlawan saya adalah Nujood Ali, yang bersama kita hari ini. Dia adalah salah satu dari para perempuan muda yang masih ingin melanjutkan sekolah," kata Hillary.
Pernyataan Hillary terkait dengan keberanian Nujood Ali hadir di pengadilan didampingi pengacara hak asasi manusia, Shada Nasser. Pengadilan memutuskan Nujood Ali bercerai dari pria itu, sesuatu yang dianggap bersejarah di Yaman.
"Hari ini Nujood kembali bersekolah. Saya melihatnya sebagai sebuah sumber inspirasi," kata Hillary lagi.
Kisah Nujood Ali menjadi inspirasi bagi pembuat film Yaman, Khadeja Sallami, yang mengisahkan Nujood Ali.
Pada November 2008 majalah Glamour menetapkan Nujood Ali dan Nasser sebagai "Perempuan-perempuan Tahun Ini". Di dalam daftar itu juga terdapat nama Condoleezza Rice dan Hillary.
Perhatian dunia
Kisah Nujood Ali mengundang simpati dunia dan menjadi perwakilan dari perlawanan sejumlah perempuan belia Yaman, yang tidak ingin menikah dini.
Nujood Ali masih beruntung. Berdasarkan informasi dari situs CNN, juga ada gadis belia lain bernama Reem al-Numeri berusia 14 tahun yang belum lama ini bercerai. Dia dipaksa menikah oleh orangtuanya saat berusia 11 tahun dengan sepupunya yang berusia 22 tahun. Namun, setelah bercerai, dia menjadi seorang yang dikucilkan tanpa dukungan suami dan orangtua.
Juga ada kisah gadis Yaman lain berusia 12 tahun, yang berdasarkan situs CNN meninggal akibat pendarahan tiga hari setelah "malam pertama".
Kembali ke kisah Nujood Ali, nasibnya menjadi inspirasi bagi peluncuran rancangan undang-undang perkawinan, yang mengharuskan wanita menikah pada usia minimal 17 tahun. Hal itu juga didukung ulama, yang menegaskan bahwa pernikahan dini seperti itu tidak agamis.
Nujood Ali terkenal karena perlawanan dan penolakan tidur bersama suami. Namun, dia mengatakan sempat disiksa karena menolak. Setelah menjadi perhatian dunia, dia merasa nasibnya tidak lebih baik. (MON)


Obama:
"Biar Berbeda, Tetaplah Bertegur Sapa"
"Sangat penting kita berbicara dengan sesama demi menyembuhkan, bukan menambah luka"


Renne R.A Kawilarang, Denny Armandhanu
VIVAnews - Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, bertolak ke Tucson, Arizona, untuk memimpin upacara mengenang para korban penembakan brutal di kota itu akhir pekan lalu. Dia juga mengunjungi seorang anggota DPR, yang masih dalam keadaan kritis akibat insiden itu, dan sejumlah korban luka lainnya di rumah sakit setempat.

Berbicara di hadapan lebih dari 13.000 warga di Universitas Arizona, Tucson, Rabu 12 Januari 2011 waktu setempat, Obama menyerukan kepada rakyat AS untuk mengenang para korban yang tewas dan mengambil hikmah insiden penembakan di Tucson itu sebagai upaya mempererat kasih sayang dan solidaritas bangsa.
“Mereka yang tewas di sini, maupun mereka yang selamat, mereka membuat saya percaya, bahwa kita tidak akan bisa menghentikan semua kejahatan di muka Bumi. Namun saya yakin, bagaimana kita memperlakukan satu sama lain semua tergantung dari diri kita sendiri,” ujar Obama seperti dilansir kantor berita Associated Press.

Tertembaknya politikus dari partai demokrat, Gabrielle ‘Gabby’ Giffords, menimbulkan beberapa debat politik. Beberapa bahkan menyebutkan ini sebagai keuntungan bagi rival politik Gabby. Hal ini ditentang oleh Obama yang mengatakan bahwa debat yang tidak bermanfaat tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.

“Pada saat wacana kita sudah terpecah belah, pada saat kita menyalahkan mereka yang berbeda dengan kita, sangat penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan berbicara dengan sesama dengan cara yang menyembuhkan, bukan dengan cara yang menambah luka,” ujar Obama.

Pada pidatonya tersebut, Obama juga menyebutkan beberapa nama korban dan apa yang mereka lakukan ketika peristiwa terjadi. Misalnya, Obama mengatakan bahwa hakim federal John Roll, yang tewas, kala itu tengah dalam perjalanan menghadiri misa, dan mampir untuk menyapa Giffords.

Korban lainnya, Dorothy Morris, tewas dengan peluru bersarang di badannya setelah sebelumnya menembus tubuh suaminya yang melindunginya. Dan seorang anak berusia 9 tahun, Christina Taylor Green, yang bercita-cita ingin menjadi wanita pertama yang bermain di liga bisbol AS.

“Jika ada genangan air di surga, Christina mungkin tengah bermain di dalamnya,” ujar Obama.

Sebelum menyampaikan pidatonya di Universitas Arizona, Obama juga menyempatkan diri untuk menjenguk Gifford di rumah sakit University Medical Center. Pada khalayak, Obama mengatakan bahwa Gabby membuka matanya tidak lama setelah Obama datang.

“Gabby membuka matanya, jadi saya beritahukan kepada kalian, dia tahu kita berkumpul disini, dia tahu kita mencintai dia, dan dia tahu kita mendukung dia dalam menghadapi masa-masa yang sulit,” ujar Obama disambut sorakan gembira pada warga.

Giffords merupakan salah satu dari 14 korban tembakan yang dilakukan oleh Jared Lee Loughner di sebuah toko di Tucson, negara bagian Arizona, Sabtu, 8 Januari 2011. Loughner menembakkan 31 peluru ke arah massa. Enam orang tewas dan belasan lainnya terluka.

Awal pekan ini, Loughner mulai diadili. Jika terbukti bersalah, dia terancam hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. (sj)
• VIVAnews

Lelaki Ini 15 Tahun Cari Pembunuh Anaknya


Siang dia menjadi seorang ayah, malam dia menjadi pemburu pembunuh anaknya.
Hadi Suprapto, Denny Armandhanu

VIVAnews - Fransisco Holgado, lelaki 66 tahun yang selalu berpakaian serba hitam dan memiliki dua kepribadian. Siang dia menjadi seorang ayah, malam dia menjadi pemburu pembunuh anaknya.

Ini adalah tahun ke 15 sejak anaknya, Juan Holgado, terbunuh dengan lebih dari 30 tusukan. Seperti dilansir dari laman Associated Press, Sabtu, 15 Januari 2011, Fransisco Holgado menghitung setiap tahun kematian anaknya tersebut di sebuah tembok di kota Jerez De La Frontera, Spanyol.

Pada tembok itu tertulis “14 tahun. Keadilan untuk Juan Holgado”. Holgado menimpa angka 14 tahun dengan cat putih dan menggantinya dengan angka 15 tahun. Selama itu pula, Holgado berjuang mencari pembunuh anaknya sampai ke sarang bromocorah di kota yang terletak di Spanyol selatan itu.
Holgado mengambil pensiun dini di kantornya demi melancarkan misinya. Istrinya bahkan menceraikannya, dan ketiga anaknya mulai mengacuhkannya. Dengan menggunakan wig murahan, kacamata dan sebuah topi, Holgado menyamar dan mendekati semua penjahat di lokasi tersebut.

“Apa yang harus seorang ayah lakukan? Seorang ayah yang anaknya dibunuh tidak bisa hanya duduk di rumah. Dia harus menemukan pembunuhnya, bahkan mengorbankan nyawanya jika diperlukan,” ujar Holgado yang setiap hari ziarah ke makam anaknya, dan sampai saat ini, Holgado masih mengenakan pakaian hitam-hitam, tanda berkabung.

Juan Holgado, 26, terbunuh pada 22 November 1995 saat bekerja di sebuah pompa bensin. Dia ditemukan bersimbah darah dengan puluhan tusukan. Pembunuhnya berhasil kabur setelah mengacak-acak toko di pompa bensin dan melarikan uang beberapa ratus dolar, beberapa pak rokok, dan beberapa botol minuman alkohol.

Penyelidikan kematiannya terbentur kurangnya barang bukti pada penyidikan. Tempat kejadian perkara (TKP) yang semula penuh dengan darah, pecahan kaca, dan bekas perkelahian telah dibersihkan pemilik pompa bensin. Beberapa fotografer dan wartawan juga merusak TKP. Sidik jari tersangka juga telah hilang tanpa bekas. Inilah yang menyebabkan pengadilan tidak bisa menangkap satu orang pun hingga saat ini.

Demi mendapatkan informasi dari lokasi kejahatan. Helgado menyamar menjadi Pepe. Dia berhasil berteman dengan para pengedar obat-obatan terlarang, perampok, dan pelacur. Semuanya demi mendapatkan informasi mengenai pelaku. Bak agen mata-mata, semua percakapan dengan mereka direkamnya dengan apik di sebuah kaset.

Terdapat puluhan rekaman dalam kaset berdurasi 60 menit. Empat orang tersangka telah berhasil dia tangkap, namun semuanya akhirnya dibebaskan karena kurang bukti. Seorang pemuda yang paling dicurigainya adalah Pedro Asencio, pemuda ini mengaku kepada Pepe telah membakar bajunya yang berlumuran darah kala itu, dia juga mengatakan akan membunuh Fransisco Helgado.

Namun bukannya melampiaskan kekesalannya pada Asencio, Helgado malah menyelamatkan nyawanya. Ketika itu keduanya tengah berkendara, Asencio yang tengah mabuk melihat seekor kelinci dan tiba-tiba mengejarnya. Mabuk, Asencio tercebur ke sungai dan meminta pertolongan. Helgado menolongnya tanpa pikir panjang.

“Apa yang harus aku lakukan? Jika dia tenggelam, tidak ada yang akan tahu pembunuhnya. Saya ingin melihat ini sampai akhir, saya tidak ingin setengah-setengah,” ujar Helgado.

Namun, Asencio dibebaskan karena kurang bukti. Saat ini, Asencio entah ke mana, Helgado terus mencari bukti pendukung.

Helgado terkenal karena kenekatannya di acara-acara publik. Dia pernah berdiri di tengah rel kereta untuk menghentikan kereta ke Madrid. Dia menempeli kota dengan poster dan mencoret-coret gedung menuntut keadilan.

Dia juga dua kali pernah mengganggu jalannya pertandingan sepakbola dengan berlari ke tengah lapangan membawa banner dan bunga carnation, yang berarti dia tidak akan melupakan anaknya. “Dia adalah pejuang yang gigih,” ujar kawan Helgado, Pablo Berrera, 33, seorang bartender.
• VIVAnews

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More